Mengukur Kinerja Karyawan Sales di Era Media Sosial: Efisiensi atau Sekadar Menjaga Toko Digital?



Di tengah transformasi digital yang kian masif, peran karyawan bagian penjualan (sales) tidak lagi terbatas pada interaksi langsung dengan pelanggan. Media sosial telah menggeser sebagian besar proses akuisisi pelanggan dari metode konvensional ke kanal digital. Namun, di balik fenomena ini, muncul sebuah pertanyaan kritis: apakah pengukuran kinerja karyawan sales sudah relevan dengan perubahan perilaku konsumen digital, atau justru menjadi sumber inefisiensi yang tersembunyi?  

Mengukur Kinerja Karyawan Sales di Era Media Sosial: 

Efisiensi atau Sekadar Menjaga Toko Digital? Di tengah transformasi digital yang masif, peran karyawan bagian penjualan (sales) tidak lagi identik dengan kegiatan proaktif mencari pelanggan. Kini, sebagian besar interaksi awal pelanggan dimediasi oleh konten, algoritma, dan kanal media sosial. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan penting: apakah sistem penilaian kinerja sales sudah menyesuaikan dengan realitas digital, atau justru menghasilkan inefisiensi struktural?  

Sales di Tengah Perubahan Digital: 

Dari Penggerak Menjadi Penjaga Lapak? Tradisionalnya, sales adalah ujung tombak yang bertanggung jawab atas pencapaian target penjualan melalui interaksi langsung. Namun, di era digital, pelanggan kerap sudah “dipanaskan” oleh konten marketing, iklan berbayar, atau rekomendasi media sosial sebelum akhirnya berinteraksi dengan tim sales. Hasilnya, karyawan sales lebih sering berperan sebagai penjaga lapak digital — sekadar menyambut dan memproses, bukan menjaring dan membangun demand. Lebih dari itu, dalam banyak kasus, tugas sales telah bergeser menjadi "kuli konten", yaitu tenaga kerja yang hanya mengunggah materi promosi secara mekanis tanpa pemahaman strategi atau daya analisis. 

Dana Besar Tanpa Upgrade Skill: 

Potensi “Cost Stupit” yang Merugikan Kondisi menjadi semakin tidak efisien ketika perusahaan menggelontorkan dana besar untuk mempertahankan tim penjualan, namun tidak dibarengi peningkatan kapasitas atau pelatihan digital yang memadai. Alih-alih menjadi aset yang mampu mengikuti dinamika digital, mereka justru terjebak dalam fungsi pasif yang bisa diotomatisasi oleh teknologi — atau lebih parah lagi, tak memberikan dampak berarti terhadap konversi. Inilah yang dapat disebut sebagai “cost stupit” — pemborosan anggaran perusahaan untuk mempertahankan struktur dan SDM yang tidak lagi relevan secara fungsi maupun produktivitas. Istilah ini tidak sekadar menyoroti inefisiensi, tetapi juga menegaskan kekeliruan strategis yang seharusnya bisa dihindari jika manajemen peka terhadap perubahan zaman.  

Beberapa bentuk nyata dari “cost stupit” ini antara lain:  

  • Gaji tetap tinggi untuk SDM yang hanya menjalankan peran administratif digital.  
  • Tidak adanya pelatihan yang membuat sales mampu menggunakan data atau tools modern seperti CRM, automation, dan attribution. Penilaian kinerja yang masih berbasis angka penjualan akhir tanpa mempertimbangkan kontribusi digital yang membawa pelanggan ke titik transaksi.  

Solusi: 

Konvergensi Strategi, Kinerja, dan Kapasitas Digital Untuk keluar dari jebakan “cost stupit”, perusahaan perlu berani melakukan perubahan struktural dan mindset, antara lain: Mengganti KPI tradisional dengan indikator berbasis kontribusi digital: engagement, efektivitas lead nurturing, kemampuan pemanfaatan tools digital, hingga kolaborasi lintas fungsi. Mengalokasikan sebagian anggaran sales untuk program upskilling, termasuk pemahaman algoritma sosial media, strategi funneling, dan pendekatan berbasis data. Membangun struktur hybrid antara tim sales dan marketing digital, dengan peran yang lebih cair dan terintegrasi dalam pengalaman pelanggan.  

Kesimpulan: 

Jangan Biarkan Tenaga Penjualan Jadi Beban yang Mahal Era digital menuntut redefinisi terhadap peran sales. Jika tidak, tenaga penjualan yang tidak dibekali skill modern hanya akan menjadi beban mahal yang menunggu, bukan bergerak. Cost stupit adalah ketika kita membayar mahal untuk posisi yang tidak bekerja cerdas, tidak memberikan hasil, dan tetap dipertahankan hanya karena alasan “selalu begitu dari dulu.” Menghindari jebakan ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi soal kelangsungan bisnis. Di dunia di mana pelanggan semakin digital, karyawan sales harus menjadi navigator strategi, bukan hanya pelayan lapak.